Monday, July 21, 2003

Nonton bareng Anak-anak kampung Pancoran

***
Rasanya satu jam adalah waktu yang cukup singkat untuk mengundang anak-anak kampung Pancoran untuk ikutan nonton Festival Film Jepang di Graha Bakti Budaya TIM hari Minggu, 20 Juli 2003 kemarin. Tapi dengan semangat 45 akhirnya berhasil dikumpulkan 50 orang anak-anak yang siap menonton. Kami dijemput dengan bis Metromini sumbangan dari Japan Foundation yang langsung ribut dan penuh sesak dengan anak-anak dan celotehannya. Mereka begitu bersemangat pergi ke TIM. Bagi mereka, nonton di TIM adalah yang pertama kali. Maklumlah, harga tiket karcis menonton film saat ini cukup tinggi.

Mega yang masih 7 tahun, agak malu-malu dan akhirnya sang ibu ikut menemaninya menonton. Sementara anak-anak yang lain sibuk berebut tempat duduk, kaum ibu di kampung ini juga sudah siap menunggu di depan gang siapa tahu kami mengijinkan mereka ikut pergi menonton. "Rin, ibu-ibu kapan gilirannya?" kata mereka. Waduh, repot sekali, meskipun sebenarnya mereka bisa saja ikut menonton karena film yang diputar ini gratis. Tapi masalahnya snack yang disediakan oleh Japan Foundation jumlahnya terbatas dan yang dikhawatirkan mereka menuntut jatah minuman dan snack itu, meskipun tidak seberapa harganya.

Ida datang dengan kakak dan adiknya. Mereka baru pertama kali itu pergi ke TIM. Ibunya sudah lama meninggal sedangkan ayahnya dulu bekerja sebagai tukang balon gas keliling tapi sekarang ia sudah tidak bekerja lagi. Ida dan saudara-saudaranya yang 5 orang lagi tidak bersekolah, sedang adiknya yang terkecil, bersekolah di SD. Kebetulan Pak RT yang membantu adiknya bersekolah. Sesampainya disana, Ida bertany,"Mbak, tempat ini namanya apa?" Oya, aku memang tidak memberitahukan secara spesifik didalam bis. "Nama tempat ini TIM, Taman Ismail Marzuki", kataku. Ida bilang, tamannya kok nggak ada, padahal nama tempat ini taman. "Tamannya yang mana, Mbak?" dan lantas membuatku tersenyum karena TIM memang menyisakan sedikit taman.

Film sore itu judulnya "Ayo Berjuang". Film yang bagus sekali dan benar-benar memberikanku inspirasi dan support. Cerita tentang perjuangan Etsuko seorang anak sekolah yang ingin sekali masuk klub dayung disekolahnya. Padahal klub dayung itu hanya untuk anak laki-laki. Etsuko lantas berpikir, jika tidak ada klub dayung untuk anak perempuan, kenapa tidak dibuat saja? Maka ia lantas mengumpulkan teman-teman perempuan untuk membentuk tim dayung itu. Latihannya berat. Seperti Michael Jordan yang sering gagal sebelum menang dan menjadi juara, seperti juga Colonel Sanders yang menawarkan resep ayam gorengnya ke 99 restoran, mengalami penolakan, tapi akhirnya dia mencoba lagi dan terus menang. Maka begitulah film ini.

Ditengah acara nonton itu, dari jauh terdengar suara tawa anak-anak. Mereka begitu menikmati film ini dan suara tawanya renyah sekali. Nikmat mendengarnya.

Aku terharu melihat perjuangan Etsuko dan bagaimana sedihnya ia menghadapi kekalahan, tapi ia terus berjuang, membentuk tim yang baik, dan meskipun tetap kalah, tapi ia tetap berjuang. Slow motion di plot akhir film benar-benar mengharukan. 100% Berjuang ! Membuatku berpikir, sudahkah aku berjuang segitu besarnya hari ini??

Terima kasih buat Mbak Diana dan Mbak Nurul dari Japan Foundation yang sudah memberikan 50 tiket gratis untuk Melati. Kapan-kapan kalo ada acara puter film lagi, ada bis dan ada snack terutama, tolong aku dikabari yaaa....

RN, 21 Juli 2004

Monday, July 14, 2003

Naik Bajaj di Kebun Raya Bogor

Waktu itu jam tangan Panji menunjukkan pukul 09.05 WIB. Tepat 5 menit lewatnya dari jadual yang sudah disepakatinya dengan Rini, Bobby dan Nina di Halte depan UKI. Pagi itu, mereka akan pergi ke Kebun Raya Bogor untuk survei acara tanggal 27 Juli 2003 nanti. Setelah semuanya kumpul, kamipun lantas berangkat ke Bogor. Perjalanan dari Jakarta ke Bogor tidak selama yang kami duga. Dengan Panji sang sembalap dan mobilnya yang seperti BatMobile, cukup cepat membalap mobil-mobil yang ada di depannya. Kami tiba di Kebun Raya Bogor jam 10 kurang sedikit.

Bogor sekarang panas, padahal topi sudah kami kenakan. Hari Minggu begini, mobil ternyata nggak bisa masuk ke Kebun Raya Bogor. Pintu Satu (Main Gate) Kebun Raya Bogorpun padat oleh pengunjung. "Wah, agak repot nih dua minggu lagi kalau suasananya sama seperti ini, dan kalau pintu ini yang dipilih sebagai pintu masuk" kata Rini sambil bersama Nina mencari Bobby dan Panji, yang ternyata sedang mewawancarai seorang petugas karcis pintu masuk, Pak Syafei namanya. Menurut petugas ini, hari minggu, mobil memang tidak bisa masuk ke dalam areal Kebun Raya Bogor, apalagi bis.

Suasana Kebun Raya Bogor masih seperti dulu waktu terakhir kami kesana. Di pintu masuknya masih ada patung Ganesha, simbol ilmu pengetahuan. Di sepanjang kiri kanan jalan setelah kami masuk masih banyak pohon kenari. Pohon kenari ini sudah ada disana sejak ditanam pertama kali tahun 1835. Tidak jauh dari situ, kami melewati makam Olivia Mariamne Raffles yang dimakamkan tahun 1814. Ia dulu disebut First Lady of Java.

Kami menuju lokasi di dekat Jalan Astrid yang sudah disurvei oleh Ibu Guru Nia dan Tia, guru-guru Sekolah Anak Jalanan (SAJA). Letaknya ternyata lebih dekat ke Pintu Tiga, dibandingkan jika kita masuk melalui Pintu Satu. Pintu Tiga tidak ramai, bahkan tempatnya cukup bagus untuk memulai suatu perjalanan. Jarak antara Pintu Satu sampai ke lokasi yang dipilih guru-guru itu yaaah, kira-kira 2 km dari Main Gate. Rasanya kalau anak-anak SAJA masuk lewat Pintu Satu, mereka akan "tewas" kelelahan pada saat mereka sampai di Jalan Astrid. Jalan Astrid yang dipilih Ibu Guru Nia dan Ita adalah salah satu jalan di Kebun Raya Bogor. Dinamai demikian untuk mengingat kunjungan Putri Astrid dan suaminya Pangeran Leopold dari Belgia sewaktu mereka berbulan madu tahun 1928 ke lokasi ini. Jika kita melewati Jalan Astrid ini sepanjang kiri dan kanannya penuh dengan pohon Damar dan ditengahnya penuh dengan pohon kana yang bunganya berwarna-warni. Siapa sangka jika bunga Kana ternyata berasal dari Amerika?

Tidak jauh dari Jalan Astrid, ada rumah anggrek yang lokasinya sangat indah. Kami tidak tau apa nanti kita bisa membawa anak-anak SAJA ke rumah anggrek (harus bayar lagi nih... ada yang mau bayarin uang tiketnya yang Rp.1,000?) tapi kita bisa mengajak mereka jalan-jalan disekitar rumah anggrek itu dan menikmati taman dan tumbuhan yang ada disana. Ada anggrek tanah, ada anggrek bulan, dan masih banyak lagi. Disana ada arena kecil yang cocok sekali dijadikan tempat untuk berkumpul, membagi kelompok dan memulai perjalanan adik-adik kita nanti. Tidak jauh dari Jalan Astrid juga, ada hamparan luas pohon pinus. Pohon Pinus juga bagus untuk belajar, lho... kita bisa mengajak adik-adik itu mencari biji (bukan bunga) pinus yang tersebar di tanah. Cerita tentang perjalanan sebuah biji pinus yang terbang dari pohon dan dibawa angin sampai ke tanah di sebrang sana, pasti menarik perhatian mereka.

Tepat diujung deretan pohon Damar itu, ada kolam-kolam teratai. Ada Nymphaea lotus, yang asalnya dari Mesir. Teratai kecil yang bunganya terdiri dari 2 warna, merah muda dan putih. Indah sekali. Masih di kolam yang sama, ada teratai terbesar di dunia, namanya Victoria amazonica. Teratai ini diberi nama yang sama dengan Ratu Victoria dari Inggris. Daunnya yang luas, sanggup menopang seorang anak kecil yang beratnya 12 kg. Bayangkan perjuangan para botanis di kala itu, sampai mereka berhasil membuat teratai ini berbunga pada tahun 1849. Bunganya yang pertama malahan sempat dibawa kehadapan Ratu Victoria! bukan main.. Setelah kami membaca cerita tentang teratai raksasa ini di sebuah papan informasi, kami duduk-duduk di sekitar kolam itu. Banyak pemandangan bagus dari tepi kolam ini. Ada anak-anak yang main bola, main layangan (jadi pengen nih main layangan lagi!) ada yang jalan-jalan sambil nenteng radio dan teman-temannya sibuk berjoget sepanjang jalan, ada sebuah keluarga sedang piknik di hamparan rumput luas, ada seorang guide yang sibuk membawa turis dari Perancis dan sibuk bilang, "La... La les fleurs..." dan Panji tiba-tiba nanya, "Dia ngomong apa?" dan Nina bilang, bahwa si Guide cuma bilang,"itu... itu bung-bunganya"... yah, kata Panji,, dia juga bisa jadi guide kalo cuma itu yang bisa dibilang sama guidenya.... hehehe... Bobby tiba-tiba jadi gila di Kebun Raya Bogor. Dia sibuk manjat pohon dan meniru suara wau-wau. Orang-orang jadi mencari-cari asal suara yang dibuatnya. Kamipun jadi ikut-ikutan manjat pohon dan menikmati Kebun Raya dari atas pohon. GILA! ya.... persis orang gila... Nah, tidak jauh dari pohon yang kami panjat, ada pohon awet muda. Tidak banyak orang yang tau tentang ini, tapi buah pohon awet muda, katanya memang bikin awet muda. Buahnya agak asam rasanya, tapi lumayan menyegarkan.

Dari kolam teratai, kami menuju sekumpulan akar gantung, tidak jauh dari pohon Tarsan. Wah... menyenangkan sekali bergelantungan seperti Tarsan dan berteriak-teriak seperti orang gila! Kumpulan akar gantung itu tidak jauh dari Jembatan Gantung. Jembatan ini konon kabarnya disebut juga Jembatan Merah, atau jembatan putus cinta. Orang yang sedang pacaran jika melalui jembatan ini bisa putus, katanya. Sungai CIliwung tepat mengalir di bawah Jembatan ini. Kamipun beristirahat dibawah pohon besar di kaki jembatan.

Tiba-tiba, sebuah Bajaj menarik perhatian kami. Bajaj berwarna hijau! di Kebun Raya Bogor! Bajaj ini tidak sama seperti Bajaj yang biasanya kita temui di sudut jalan di Jakarta. Bajajnya sudah dimodifikasi. Mesinnya vespa PX, bagian depan tetap dipertahankan sama seperti Bajaj biasanya, sedangkan bagian belakangnya dimodifikasi menjadi bak, lengkap dengan bantal-bantal untuk duduk. Berbeda dengan biasanya, sang Bajaj tidak banyak goncangan. nyamanlah... Sang supir, Pak Tjulu namanya, akhirnya bersedia mengantar kami berkeliling Kebun Raya Bogor. wah... asyik sekali.. ! cukup untuk berempat. Apalagi ternyata sepanjang perjalanan semua tatapan mata memperhatikan kegilaan kami. Mereka juga senang dengan kehadiran Bajaj hijau itu. Bahkan beberapa turis melambaikan tangannya kepada kami. Wah... senangnya!!! Kami sibuk ketawa-ketawa sambil menikmati pemandangan di Kebun Raya itu. kami melewati taman pakis, taman bakau, taman palem, pohon rotan yang akarnya menjalar kemana-mana, makam yang konon kabarnya pusat kerajaan pajajaran, pohon bambu... dan pohon yang akarnya besar-besar... dan finally, here we were.... balik lagi ke titik nol perjalanan kami, ke main gate, pintu satu Kebun Raya Bogor. Menyenangkan! Bobby langsung mem-booking Pak Tjulu untuk menemaninya tanggal 27 Juli nanti. Semoga jadual Pak Tjulu cocok dengan tanggal yang kami berikan. Lumayanlah, kehadiran Bajaj itu nanti dapat membantu perjalanan kita dengan adik-adik itu nantinya, dan bahkan bisa digunakan untuk mengangkuti barang-barang kita.

***
RN, 14/7/03