Friday, June 17, 2005

KEASRIAN YANG LANGKA DI JAKARTA


HUTAN KALI PESANGGRAHAN
KEASRIAN YANG LANGKA DI JAKARTA

Berada pada area seluas 40 hektar di selatan Jakarta, tidak percaya rasanya kalau kita masih menjejakkan kaki diibukota metropolitan ini. Udara yang bersih, pohon-pohon yang rindang, kicauan burung yang masih ramai terdengar hingga air sungai yang jernih mengalir. Namun tidak begitu saja kondisi itu terjadi, perjuangan selama 15 tahun dilakukan untuk mewujudkannya.

Pesanggrahan berarti tempat kumpul atau musyawarah. Diberi nama seperti itu karena mungkin dulunya tempat ini merupakan tempat berkumpulnya orang banyak. “Dulu pada tahun 1950-1960an saya memancing itu masih banyak ikannya, tapi tahun 1976 itu hancur total, sampah menumpuk, air sungai menghitam dan munculnya rumah2 kumuh dibantaran kali,” kata Chaerudin, ketua kelompok Tani Lingkungan Hidup Sangga Buana di wilayah Pesanggrahan, Karang Tengah, Lebak Bulus, Kelompok inlah yang mengawali penghijauan di bantaran kali Pesanggrahan.

Secara fisik wilayah kali Pesanggrahan sekarang berupa kawasan hutan dengan berbagai jenis tanamannya. Namun dibalik semua itu Pesanggrahan memiliki kekayaan budaya mulai dari legenda, kesenian hingga artefak-artefak berumur hingga 500 tahun dari zaman sebelum masuknya Islam ke Jawa Barat yang semua masih dimiliki oleh penduduk sekitar.

Berawal dari Keprihatinan

Berawal dari sebuah keprihatinan akan kelestarian lingkungan yang semakin terancam oleh kepentingan industri dan ekonomi inilah kelompok Tani Sangga Buana berdiri. Mereka yang rata-rata merupakan penduduk asli karang tengah merasa tergerak untuk menyelamatkan lingkungan mereka agar tetap bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya.

Usaha tersebut tidak begitu mudah untuk dilakukan. “Tantangan terberat saat itu adalah kondisi bantaran sungai yang telah dimiliki oleh orang-orang kaya,” kata Chaerudin. Sempat terjadi bentrokan dengan aparat, sebelum akhirnya pagar-pagar tersebut dirobohkan tahun 1997. Awalnya mereka membersihkan sampah-sampah yang menumpuk dan menyelesaikan urusan pagar dengan orang-orang kaya pemiliknya. Namun setelah ada lahannya, masalah yang timbul bagaimana mencari pohon-pohonnya.

Akhirnya anggota sangga buana – yang saat ini telah berjumlah lebih dari 82 orang – mengumpulkan pohon dengan cara meminta, mencari di kebun dan lain-lain. Pokoknya setiap pertemuan yang diadakan sebulan dua kali, setiap anggota menyerahkan pohon apa saja mereka peroleh. Semuanya dikumpulkan untukkemudian ditanam beramai-ramain, “Kalau sekarang sudah lebih mudah, kami banyak menerima sumbangan pohon baik dari individu, lembaga lingkungan hidup, pemerintah hingga wartawan.” Ujarnya lebih lanjut.

Ternyata perjuanganselama 15 tahun tidak sia-sia. Saat ini sudah ada sekitar 17.000 pohon yang menghijaukan bantaran kali pesanggrahan sepanjang 20 km mulai dari Pondok Cabe. Pohon-Pohon tersebut terdiri dari pohon produktif seperti Melinjo, durian, mangga, dan rambutan. Kategori tanaman langka seperti bamboo apel, rengas, mandalka, drowakan, dan lain-lain dapat ditemukan disini. Tak ketinggalan pula tanaman obat seperti arak cina dan waru gunung. Bermacam tanaman apotik hidup seperti lidah buaya, kencur dan salam, dan tanaman hias seperti anggrek, hidup subur dibantaran kali.

Yang lebih mengagumkan, ternyata para petani ini tidal asal menanam, merekapun memperhatikan aspek geografus seperti kemiringan tanah dan letak yang pas untuk jenis tanaman tertentu. Intinya mereka berusaha menanam pohon-pohon tersebut sesuai habitat aslinya. Ilmu botani yang diterima secara turun temurun juga dipraktekkan secara alamiah di sini.

Pendekatan budaya

Sekarang nama Kali Pesanggrahan sudah terkenal. Kali Pesanggrahan bahkan telah menjadi salah satu objek wisata andalan pariwisata di Jakarta Selatan. Beberapa rombongan expatriate dari Jerman, Inggris, Perancis, Australia, Belanda hingga Jepang pun ikut mencoba merasakan keasrian daerah ini. Untuk mendampingi para wisatawan mancanegara tersebut Sangga Buana mendapatkan bantauan tenaga sebagai pemandu wisata dari Universitas Trisakati yang sebelumnya diberikan pengetahuan tentang alam dan sejarah disana.

“Satu tahun ada sekitar 4000 orang baik dari dalam maupun luar negeri yang dating ke sini,” ungkap Pak Chaerudin. Terserah mereka dating untuk apa. Hutan Kali pesanggrahan terbuka untuk siapa saja. Ada yang dating untuk melukis, mau mancingikan, ingin melihat orang macul, cari rebung atau sekedar melamun di lima bale-bale yang sekarang ada, tidak ada yang melarang. Diharapkan dengan kebebasan itu akan timbul suatu pemahaman bahwa alam memberikanmanfaat kepada manusia. Dengan begitu akan timbul kesadaran untuk ikut menjaganya.

Sekarang mahasiswa-mahasiswa dari Universitas Indonesia, Trisakti, Sahid, Jaya Baya serta beberapa universitas lain jugaikut menyumbangkan ilmunya di tempat ini. Ada yang ikut membantumemberikan nama ilmiah untuk pohon-pohon yang ada, membuat desain atau sekedar tukar pikiran dengan warga sekitar. Selain itu ada 8 SMU di Jakarta yangs ecara bergilir bertemu di bantaran kali untuk memabntu menyiram, menanam pohon atau memberi pupuk. Semuanya dikerjakan dengan sukarela. “Daripada demonstrasi atau tawuran yang tidak jelas, lebih baik kan menyalurkan ilmunya disini,” kata Chaerudin. Berari alam pun punya nilai pendidikan.

Untuk anak-anak, chaerudin percaya bahwa pendekatan budayalah yang paling tepat untuk diterapkan. Dengan menceritakan tentang legenda-legenda yang ada di tanah Jakarta inimereka akanmerasa bangga dan akhirnya tergugah untukikur menjaga warisan nenek moyangnya. Dengan gaya khas Betawinya, ia pun menambahkan, “Jarang kan sekarang orang tua yang mendongeng untuk anaknya. Paling-paling mereka mengajak refreshing anak ke mal, tontonannya film Sinchan, gimana otaknya tidak ngeres?”

Manfaat Ekonomis

Upaya penyelamatan alam, biar bagaimanapun harus tetap memperhatkan masalah ekonomi. Ini pun disadari para petani yang menghijaukan bantaran kali Pesanggrahan. Syukurlah, sekarang mereka sudah bisa merasakan jerih payah reboisasi yang mereka lakukan karena bisa memetik hasil dari sayuran dan tanaman lain yang tumbuh disitu. Juga mereka bisa membperoleh ikan dari memancing di kali.

Mereka pun memperoleh penghasilan dari wisatawan yangdatang dan membeli tanaman dari para petani. Yang utama mereka menanam pohon disitu, selain ada yang dibawa pulang. Kecuali kelompok petani anggrek. Disini pun ada kelompok penangkar buah dan lainnya. “Wisatawan asingjuga kita minta untuk melepas bibit ikan yang bisa didapat dari petani kita ke sungai. Kalau kata orang Jakarta, datang kelihatan muka, pulang kelihatan belakang. Jadi kedatangan mereka kesini juga ada buktinya.” Tambah pak Chaerudin.

Untuk pagelaran-pagelaran acara yang sering diadakan di tempat itu seperti peringatan Hari Bumi, Ulang Tahun Jakarta, Festical Getek atau sedekah Barit, masyarakat setempat juga ikut merasakan manfaat ekonomisnya. Mulai dari pertunjukan kesenian tradisional, pembuatan makanan khas hingga pengobatan traadisional yang menggunakan ramuan tumbuh-tumbuhan dari dalam hutan. Seperti tanaman arak Cina yang bisa digunakan sebagai obat anti kanker atau waru gunung yang ternyata bisa menyembuhkan muntah darah. Ketika keberadaan mereka secara ekonimis memeiliki arti, mau tidak mau keinginan untuk turun menjaga lingkungan alamnya juga akan tumbuh secara alami.

Satu yang harus diingat, kalau ala mini bukan warisan nenek moyang kita, tapi merupakan titipan anak cucu. Kalau warisan bisa habis digunakan namun kalau titipan harus tetap ada sampai kapan pun. “ Kalau dulu ada burung kutilang, sampai kapan pun harus tetap ada burung kutilang. Kalau dulu ada kali, sampaikapanpun bantaran kali jangan sampai diperjualbelikan, tegas Chaerudin. Dengan pemahaman seperti itu, mereka akan selalu merasa terpanggil untuk kembali, pariwisata pun akan memberikan kesan yang mendalam, manajemen yang lebih professional tanpa merusak konsep natural masyarakat setempat mungkin yang masih perlu diterapkan. [Ina]

Bagaimana mencapainya?

Kali Pesanggarahan berada di kawasan lebak bulus tak jauh dari Villa Delima, Karang Tengah, Sangga Buana terletak dipintu masuk perumahan Villa Delima, Lebak Bulus.

Kami ajak mereka….

Di hutan inilah anak-anak jalanan dari 4 rumah singgah dijakarta akan kami bawa setelah berkunjung ke museum layang-layang, mereka adalah anak cucu yang menitipkan hutan ini pada kita, mereka juga penerus bangsa ini. Tidaklah adil kalau mereka tak lagi mengenal alam dan rimbunnya pepohonan karena dikeseharian mereka hutan beton selalu terpampang dihadapan, suara air dan alam telah berganti dengan bisingnya kendaraaan, sungai yang mengalir telah berganti dengan sungai hitam pekat penuh polusi, Bersama mereka nanti, kami akan bermain dan belajar tentang alam dan bagaimana menjaganya. Bukan hanya untuk mereka tapi juga kami…. Belajar bersama di alam…. Mencari tahu ilmu dari alam… CARI TAU YUK!!

Ke Museum Layang-layang yuk!


Layang-layang

Kuambil bulu sebatang
Kupotong sama panjang
Kuraut dan kupintal dengan benang
Kujadikan layang-layang…
Berlari… berlari…
Bermain layang-layang…
Bermain kubawa ketanah lapang…
Hati gembira dan riang…

Mendengar lagu itu, sekejap aku kembali teringat ketika kecil dulu, sebagai anak perempuan yang tomboy kadang selain bermain kelereng aku juga suka bermain layang-layang. Ayah dulu pernah mengajariku membuat layang-layang dari kertas Koran dengan bilahan tipis dari bambu dan benang jahit. Layangan tersebut tentu saja tidak pernah bisa terbang karena angin tak mampu menerbangkan kertas Koran yang tebal, tapi aku bangga sekali, itu layang-layangku sendiri.

Dulu, tanah lapang dikampungku masih banyak, aku bisa bermain layang-layang bersama teman-teman. Kadang kami hanya menerbangkan layang-layang berwarna-warni namun sering juga kami saling mengadu layang-layang diudara, saling ulur, betot dan tarik. Lebih seru lagi jika ada layangan putus, anak-anak membawa tongkat bambu yang diujungnya diberi ranting kering untuk mengambil layangan putus yang terbang tak tentu arah.

Tapi sekarang semua sudah jauh berbeda, tanah lapang sudah semakin tak bersisa. Semua jalan raya, semua perumahan, dan tak ada lagi tanah lapang untuk bermain layang-layang. Kadang aku sedih melihat anak-anak kecil tetanggaku, mereka bermain layang-layang diatap rumah dekat listrik, di jalan raya depan rumah. Sangat tidak aman. Dengan sedikitnya tanah lapang tidak heran suatu hari nanti layang-layang akan ditinggalkan. Menyedihkan ya?

Itu anak-anak kecil tetanggaku, dimana kami masih memiliki rumah yang nyaman untuk beristirahat. Tidak semua anak seberuntung anak-anak kecil tetanggaku, masih banyak anak-anak yang tinggal di kolong Jembatan, dimana mereka akan bermain layang-layang? Atap rumah mereka adalah jalan, bukan awan. Disebelah rumah mereka adalah jalan, bukan tanah lapang, kemana mereka akan bermain apalagi bermain layang-layang, Mereka pasti sama dengan anak-anak tetanggaku bermain layang-layang di jalan raya. Dan jalan raya mereka lebih berbahaya daripada jalan raya yang ada di rumahku. Jalan didepan rumahku hanya sesekali mobil lewat namun kalo anak jalanan itu jalan raya mereka dilewati mobil-mobil besar setiap saat. Dan suatu saat karena semua keterbatasan itulah, mereka juga akan berhenti bermain layang-layang. Sebuah ironi tersendiri, ketika anak bangsa tak lagi mengenal permainan tradisional negeri sendiri.

Itulah kenapa aku bahagia sekali ketika mendengar KKS Melati akan mengajak 100 anak jalanan untuk mengunjungi Museum layang-layang. Anak-anak jalanan adalah juga anak-anak Indonesia mereka sama seperti anak2 yang tinggal disekitar rumah kita. Mereka berhak tahu lebih banyak tentang layang-layang. Beruntung! Disebuah tempat diselatan Jakarta, ada sebuah museum layang-layang…

Museum Layang-layang

Sejak 2500 tahun yang lalu hingga saat ini permainan layang-layang tetap popular ditengah kemajuan teknologi. Dengan berbagai bentuk dan corak yang menarik. Layang-layang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Dari mulai yang berukuran 2 x 2 cm dari China hingga yang berukuran 22 x 24 m dari Jepang, bahkan Museum Rekor Indonesia (MURI) telah mencatat layang-layang dari Bali dengan panjang ekor 250 meter.
Didaerah Pondok Labu, Jakarta Selatan, Sejak tahun 2003 telah berdiri museum layang-layang Indonesia. Begitu memasuki area museum, suasana hangat menyambut kedatangan setiap pengunjungnya. Nuansa rumah jawa begitu kental terasa, ada pendopo dan joglo juga taman-taman asri disekelilingnya.
Ada banyak layang-layang disana dari berbagai daerah dinegara kita bahkan dari manca Negara. Besar dan Kecil.
Di museum bagian luar dimana di eternitnya tergantung layang-;layang besar dari mancanegara kita juga dapat membuat layang-layang, dan didalam museum ada banyak layang-layang dari Negara Indonesia.
Anak-anak itu pasti akan senang disana, mereka akan melihat layang-layang besar itu dan mereka akan membuat layang-layang seperti ketika ayah mengajariku dulu.
Aku tak sabar menunggu hari itu….. hari ketika anak-anak jalanan itu akan pergi mengunjungi museum layang-layang dan aku kembali bernyanyi… kuambil buluh sebatang… kupotong sama panjang…… dan sebuah layang-layang kembali kuterbangkan menambah indahnya langit Jakarta[v]

Museum Layang-Layang Indonesia
Jalan H. Kamang No. 38, Pondok Labu,
Jakarta 12450, Indonesia
Tel. 765 8075 Fax. 750 5112
www.merindokites.com

OUTING ANAK JALANAN KKS MELATI
CARI TAU YUKK!!
26 Juni 2005

Museum Layang-Layang – Hutan Wisata Kali Pesanggrahan
Informasi lebih lanjut hubungi :
Rini 0811188037
Dessy 0817755677
eVIe 08161109737
Kks_melati@yahoo.com