Friday, June 17, 2005

KEASRIAN YANG LANGKA DI JAKARTA


HUTAN KALI PESANGGRAHAN
KEASRIAN YANG LANGKA DI JAKARTA

Berada pada area seluas 40 hektar di selatan Jakarta, tidak percaya rasanya kalau kita masih menjejakkan kaki diibukota metropolitan ini. Udara yang bersih, pohon-pohon yang rindang, kicauan burung yang masih ramai terdengar hingga air sungai yang jernih mengalir. Namun tidak begitu saja kondisi itu terjadi, perjuangan selama 15 tahun dilakukan untuk mewujudkannya.

Pesanggrahan berarti tempat kumpul atau musyawarah. Diberi nama seperti itu karena mungkin dulunya tempat ini merupakan tempat berkumpulnya orang banyak. “Dulu pada tahun 1950-1960an saya memancing itu masih banyak ikannya, tapi tahun 1976 itu hancur total, sampah menumpuk, air sungai menghitam dan munculnya rumah2 kumuh dibantaran kali,” kata Chaerudin, ketua kelompok Tani Lingkungan Hidup Sangga Buana di wilayah Pesanggrahan, Karang Tengah, Lebak Bulus, Kelompok inlah yang mengawali penghijauan di bantaran kali Pesanggrahan.

Secara fisik wilayah kali Pesanggrahan sekarang berupa kawasan hutan dengan berbagai jenis tanamannya. Namun dibalik semua itu Pesanggrahan memiliki kekayaan budaya mulai dari legenda, kesenian hingga artefak-artefak berumur hingga 500 tahun dari zaman sebelum masuknya Islam ke Jawa Barat yang semua masih dimiliki oleh penduduk sekitar.

Berawal dari Keprihatinan

Berawal dari sebuah keprihatinan akan kelestarian lingkungan yang semakin terancam oleh kepentingan industri dan ekonomi inilah kelompok Tani Sangga Buana berdiri. Mereka yang rata-rata merupakan penduduk asli karang tengah merasa tergerak untuk menyelamatkan lingkungan mereka agar tetap bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya.

Usaha tersebut tidak begitu mudah untuk dilakukan. “Tantangan terberat saat itu adalah kondisi bantaran sungai yang telah dimiliki oleh orang-orang kaya,” kata Chaerudin. Sempat terjadi bentrokan dengan aparat, sebelum akhirnya pagar-pagar tersebut dirobohkan tahun 1997. Awalnya mereka membersihkan sampah-sampah yang menumpuk dan menyelesaikan urusan pagar dengan orang-orang kaya pemiliknya. Namun setelah ada lahannya, masalah yang timbul bagaimana mencari pohon-pohonnya.

Akhirnya anggota sangga buana – yang saat ini telah berjumlah lebih dari 82 orang – mengumpulkan pohon dengan cara meminta, mencari di kebun dan lain-lain. Pokoknya setiap pertemuan yang diadakan sebulan dua kali, setiap anggota menyerahkan pohon apa saja mereka peroleh. Semuanya dikumpulkan untukkemudian ditanam beramai-ramain, “Kalau sekarang sudah lebih mudah, kami banyak menerima sumbangan pohon baik dari individu, lembaga lingkungan hidup, pemerintah hingga wartawan.” Ujarnya lebih lanjut.

Ternyata perjuanganselama 15 tahun tidak sia-sia. Saat ini sudah ada sekitar 17.000 pohon yang menghijaukan bantaran kali pesanggrahan sepanjang 20 km mulai dari Pondok Cabe. Pohon-Pohon tersebut terdiri dari pohon produktif seperti Melinjo, durian, mangga, dan rambutan. Kategori tanaman langka seperti bamboo apel, rengas, mandalka, drowakan, dan lain-lain dapat ditemukan disini. Tak ketinggalan pula tanaman obat seperti arak cina dan waru gunung. Bermacam tanaman apotik hidup seperti lidah buaya, kencur dan salam, dan tanaman hias seperti anggrek, hidup subur dibantaran kali.

Yang lebih mengagumkan, ternyata para petani ini tidal asal menanam, merekapun memperhatikan aspek geografus seperti kemiringan tanah dan letak yang pas untuk jenis tanaman tertentu. Intinya mereka berusaha menanam pohon-pohon tersebut sesuai habitat aslinya. Ilmu botani yang diterima secara turun temurun juga dipraktekkan secara alamiah di sini.

Pendekatan budaya

Sekarang nama Kali Pesanggrahan sudah terkenal. Kali Pesanggrahan bahkan telah menjadi salah satu objek wisata andalan pariwisata di Jakarta Selatan. Beberapa rombongan expatriate dari Jerman, Inggris, Perancis, Australia, Belanda hingga Jepang pun ikut mencoba merasakan keasrian daerah ini. Untuk mendampingi para wisatawan mancanegara tersebut Sangga Buana mendapatkan bantauan tenaga sebagai pemandu wisata dari Universitas Trisakati yang sebelumnya diberikan pengetahuan tentang alam dan sejarah disana.

“Satu tahun ada sekitar 4000 orang baik dari dalam maupun luar negeri yang dating ke sini,” ungkap Pak Chaerudin. Terserah mereka dating untuk apa. Hutan Kali pesanggrahan terbuka untuk siapa saja. Ada yang dating untuk melukis, mau mancingikan, ingin melihat orang macul, cari rebung atau sekedar melamun di lima bale-bale yang sekarang ada, tidak ada yang melarang. Diharapkan dengan kebebasan itu akan timbul suatu pemahaman bahwa alam memberikanmanfaat kepada manusia. Dengan begitu akan timbul kesadaran untuk ikut menjaganya.

Sekarang mahasiswa-mahasiswa dari Universitas Indonesia, Trisakti, Sahid, Jaya Baya serta beberapa universitas lain jugaikut menyumbangkan ilmunya di tempat ini. Ada yang ikut membantumemberikan nama ilmiah untuk pohon-pohon yang ada, membuat desain atau sekedar tukar pikiran dengan warga sekitar. Selain itu ada 8 SMU di Jakarta yangs ecara bergilir bertemu di bantaran kali untuk memabntu menyiram, menanam pohon atau memberi pupuk. Semuanya dikerjakan dengan sukarela. “Daripada demonstrasi atau tawuran yang tidak jelas, lebih baik kan menyalurkan ilmunya disini,” kata Chaerudin. Berari alam pun punya nilai pendidikan.

Untuk anak-anak, chaerudin percaya bahwa pendekatan budayalah yang paling tepat untuk diterapkan. Dengan menceritakan tentang legenda-legenda yang ada di tanah Jakarta inimereka akanmerasa bangga dan akhirnya tergugah untukikur menjaga warisan nenek moyangnya. Dengan gaya khas Betawinya, ia pun menambahkan, “Jarang kan sekarang orang tua yang mendongeng untuk anaknya. Paling-paling mereka mengajak refreshing anak ke mal, tontonannya film Sinchan, gimana otaknya tidak ngeres?”

Manfaat Ekonomis

Upaya penyelamatan alam, biar bagaimanapun harus tetap memperhatkan masalah ekonomi. Ini pun disadari para petani yang menghijaukan bantaran kali Pesanggrahan. Syukurlah, sekarang mereka sudah bisa merasakan jerih payah reboisasi yang mereka lakukan karena bisa memetik hasil dari sayuran dan tanaman lain yang tumbuh disitu. Juga mereka bisa membperoleh ikan dari memancing di kali.

Mereka pun memperoleh penghasilan dari wisatawan yangdatang dan membeli tanaman dari para petani. Yang utama mereka menanam pohon disitu, selain ada yang dibawa pulang. Kecuali kelompok petani anggrek. Disini pun ada kelompok penangkar buah dan lainnya. “Wisatawan asingjuga kita minta untuk melepas bibit ikan yang bisa didapat dari petani kita ke sungai. Kalau kata orang Jakarta, datang kelihatan muka, pulang kelihatan belakang. Jadi kedatangan mereka kesini juga ada buktinya.” Tambah pak Chaerudin.

Untuk pagelaran-pagelaran acara yang sering diadakan di tempat itu seperti peringatan Hari Bumi, Ulang Tahun Jakarta, Festical Getek atau sedekah Barit, masyarakat setempat juga ikut merasakan manfaat ekonomisnya. Mulai dari pertunjukan kesenian tradisional, pembuatan makanan khas hingga pengobatan traadisional yang menggunakan ramuan tumbuh-tumbuhan dari dalam hutan. Seperti tanaman arak Cina yang bisa digunakan sebagai obat anti kanker atau waru gunung yang ternyata bisa menyembuhkan muntah darah. Ketika keberadaan mereka secara ekonimis memeiliki arti, mau tidak mau keinginan untuk turun menjaga lingkungan alamnya juga akan tumbuh secara alami.

Satu yang harus diingat, kalau ala mini bukan warisan nenek moyang kita, tapi merupakan titipan anak cucu. Kalau warisan bisa habis digunakan namun kalau titipan harus tetap ada sampai kapan pun. “ Kalau dulu ada burung kutilang, sampai kapan pun harus tetap ada burung kutilang. Kalau dulu ada kali, sampaikapanpun bantaran kali jangan sampai diperjualbelikan, tegas Chaerudin. Dengan pemahaman seperti itu, mereka akan selalu merasa terpanggil untuk kembali, pariwisata pun akan memberikan kesan yang mendalam, manajemen yang lebih professional tanpa merusak konsep natural masyarakat setempat mungkin yang masih perlu diterapkan. [Ina]

Bagaimana mencapainya?

Kali Pesanggarahan berada di kawasan lebak bulus tak jauh dari Villa Delima, Karang Tengah, Sangga Buana terletak dipintu masuk perumahan Villa Delima, Lebak Bulus.

Kami ajak mereka….

Di hutan inilah anak-anak jalanan dari 4 rumah singgah dijakarta akan kami bawa setelah berkunjung ke museum layang-layang, mereka adalah anak cucu yang menitipkan hutan ini pada kita, mereka juga penerus bangsa ini. Tidaklah adil kalau mereka tak lagi mengenal alam dan rimbunnya pepohonan karena dikeseharian mereka hutan beton selalu terpampang dihadapan, suara air dan alam telah berganti dengan bisingnya kendaraaan, sungai yang mengalir telah berganti dengan sungai hitam pekat penuh polusi, Bersama mereka nanti, kami akan bermain dan belajar tentang alam dan bagaimana menjaganya. Bukan hanya untuk mereka tapi juga kami…. Belajar bersama di alam…. Mencari tahu ilmu dari alam… CARI TAU YUK!!

Ke Museum Layang-layang yuk!


Layang-layang

Kuambil bulu sebatang
Kupotong sama panjang
Kuraut dan kupintal dengan benang
Kujadikan layang-layang…
Berlari… berlari…
Bermain layang-layang…
Bermain kubawa ketanah lapang…
Hati gembira dan riang…

Mendengar lagu itu, sekejap aku kembali teringat ketika kecil dulu, sebagai anak perempuan yang tomboy kadang selain bermain kelereng aku juga suka bermain layang-layang. Ayah dulu pernah mengajariku membuat layang-layang dari kertas Koran dengan bilahan tipis dari bambu dan benang jahit. Layangan tersebut tentu saja tidak pernah bisa terbang karena angin tak mampu menerbangkan kertas Koran yang tebal, tapi aku bangga sekali, itu layang-layangku sendiri.

Dulu, tanah lapang dikampungku masih banyak, aku bisa bermain layang-layang bersama teman-teman. Kadang kami hanya menerbangkan layang-layang berwarna-warni namun sering juga kami saling mengadu layang-layang diudara, saling ulur, betot dan tarik. Lebih seru lagi jika ada layangan putus, anak-anak membawa tongkat bambu yang diujungnya diberi ranting kering untuk mengambil layangan putus yang terbang tak tentu arah.

Tapi sekarang semua sudah jauh berbeda, tanah lapang sudah semakin tak bersisa. Semua jalan raya, semua perumahan, dan tak ada lagi tanah lapang untuk bermain layang-layang. Kadang aku sedih melihat anak-anak kecil tetanggaku, mereka bermain layang-layang diatap rumah dekat listrik, di jalan raya depan rumah. Sangat tidak aman. Dengan sedikitnya tanah lapang tidak heran suatu hari nanti layang-layang akan ditinggalkan. Menyedihkan ya?

Itu anak-anak kecil tetanggaku, dimana kami masih memiliki rumah yang nyaman untuk beristirahat. Tidak semua anak seberuntung anak-anak kecil tetanggaku, masih banyak anak-anak yang tinggal di kolong Jembatan, dimana mereka akan bermain layang-layang? Atap rumah mereka adalah jalan, bukan awan. Disebelah rumah mereka adalah jalan, bukan tanah lapang, kemana mereka akan bermain apalagi bermain layang-layang, Mereka pasti sama dengan anak-anak tetanggaku bermain layang-layang di jalan raya. Dan jalan raya mereka lebih berbahaya daripada jalan raya yang ada di rumahku. Jalan didepan rumahku hanya sesekali mobil lewat namun kalo anak jalanan itu jalan raya mereka dilewati mobil-mobil besar setiap saat. Dan suatu saat karena semua keterbatasan itulah, mereka juga akan berhenti bermain layang-layang. Sebuah ironi tersendiri, ketika anak bangsa tak lagi mengenal permainan tradisional negeri sendiri.

Itulah kenapa aku bahagia sekali ketika mendengar KKS Melati akan mengajak 100 anak jalanan untuk mengunjungi Museum layang-layang. Anak-anak jalanan adalah juga anak-anak Indonesia mereka sama seperti anak2 yang tinggal disekitar rumah kita. Mereka berhak tahu lebih banyak tentang layang-layang. Beruntung! Disebuah tempat diselatan Jakarta, ada sebuah museum layang-layang…

Museum Layang-layang

Sejak 2500 tahun yang lalu hingga saat ini permainan layang-layang tetap popular ditengah kemajuan teknologi. Dengan berbagai bentuk dan corak yang menarik. Layang-layang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Dari mulai yang berukuran 2 x 2 cm dari China hingga yang berukuran 22 x 24 m dari Jepang, bahkan Museum Rekor Indonesia (MURI) telah mencatat layang-layang dari Bali dengan panjang ekor 250 meter.
Didaerah Pondok Labu, Jakarta Selatan, Sejak tahun 2003 telah berdiri museum layang-layang Indonesia. Begitu memasuki area museum, suasana hangat menyambut kedatangan setiap pengunjungnya. Nuansa rumah jawa begitu kental terasa, ada pendopo dan joglo juga taman-taman asri disekelilingnya.
Ada banyak layang-layang disana dari berbagai daerah dinegara kita bahkan dari manca Negara. Besar dan Kecil.
Di museum bagian luar dimana di eternitnya tergantung layang-;layang besar dari mancanegara kita juga dapat membuat layang-layang, dan didalam museum ada banyak layang-layang dari Negara Indonesia.
Anak-anak itu pasti akan senang disana, mereka akan melihat layang-layang besar itu dan mereka akan membuat layang-layang seperti ketika ayah mengajariku dulu.
Aku tak sabar menunggu hari itu….. hari ketika anak-anak jalanan itu akan pergi mengunjungi museum layang-layang dan aku kembali bernyanyi… kuambil buluh sebatang… kupotong sama panjang…… dan sebuah layang-layang kembali kuterbangkan menambah indahnya langit Jakarta[v]

Museum Layang-Layang Indonesia
Jalan H. Kamang No. 38, Pondok Labu,
Jakarta 12450, Indonesia
Tel. 765 8075 Fax. 750 5112
www.merindokites.com

OUTING ANAK JALANAN KKS MELATI
CARI TAU YUKK!!
26 Juni 2005

Museum Layang-Layang – Hutan Wisata Kali Pesanggrahan
Informasi lebih lanjut hubungi :
Rini 0811188037
Dessy 0817755677
eVIe 08161109737
Kks_melati@yahoo.com

Tuesday, January 11, 2005

Aku Bangga Jakartaku

Tiga minggu ini aku terlibat dalam suatu gerakan instant yang disebut Indonesia Peduli untuk Aceh. Kelompok ini merupakan gabungan dari berbagai macam perusahaan, LSM, dan kelompok-kelompok peduli dengan bencana nasional yang terjadi di Aceh. Mereka berkumpul, membahas dan menentukan langkah-langkah kongkrit untuk membantu saudara-saudara kita disana.

Yang membuatku takjub adalah bagaimana dalam waktu singkat segala hal yang diperlukan bisa menjadi ada. Jaringan-jaringan terbentuk, simpul-simpul disambung, dan jadilah suatu kelompok yang benar-benar luar biasa. Mulai dari TNI AL, TNI AU, perusahaan logistik, pebisnis, LSM dari berbagai jurusan, WALHI, KEHATI, NURANI DUNIA, DOMPET DHUAFA dan masih banyak lagi, serta tidak ketinggalan peran serta para relawan, semuanya bersatu padu, mengerahkan satu visi dan tujuan : UNTUK ACEH.

Para relawan datang ke Posko Indonesia Peduli di Pejaten dan Proklamasi. Mereka datang silih berganti, entah dari mana, namun mereka tidak segan bekerja dengan riang gembira dan penuh semangat walaupun peluh membasahi baju dan waktu habis tidak menentu. Tidak segan mereka mendata barang yang datang ke posko, mengangkutinya, menyusunnya hingga rapih di sudut ruangan, mengangkutinya kembali ke luar dan mencatat pengeluarannya. Di ruangan lain, para relawan sibuk memilah pakaian layak pakai yang akan dikirim, menghitungnya, mengepak dan menulis label di luar kemasan boxnya. Ajaib bagaimana baju layak pakai sebanyak satu kamar berukuran 5 X 5 m bisa disulap dalam sekejap mata, dimasukkan ke dalam dus-dus siap kirim.

Meski tidak saling mengenal, mereka berbaur dengan kawannya yang lain, saling berkenalan dan menyapa dan bekerja bersama-sama. Sungguh sebuah pemandangan yang indah yang bisa aku rasakan. Sungguh merupakan satu kekuatan bagi kota tempatku tinggal untuk bisa melakukan yang lebih banyak dan lebih besar lagi dengan kekuatan seperti ini.

Malam tahun baru 2005 lalu, disaat sebagian gelintir manusia lainnya sibuk merayakan tahun baru, kira-kira 60 relawan berkumpul di Posko Pejaten. Mereka sengaja memilih berada di Posko untuk membantu apa yang bisa dibantu dengan keberadaan mereka. Tak heran jika tak ada satu orangpun yang protes ketika mereka diminta membantu di Posko Proklamasi pada pukul 2 dini hari, untuk mengangkuti barang-barang ke atas truk yang suda menunggu disana. Tak lebih dari 5 jam mereka memeras keringat, menggunakan otot dan otaknya membantu dengan sekuat tenaga.

SALUT atas apa yang sudah dilakukan.

Semoga apa yang mereka peroleh di Posko itu berguna bagi kehidupan mereka masing-masing, terutama memperjaya batin dengan cara mereka sendiri. Semoga mata, hati dan pikiran mereka semakin terbuka dan dapat melakukan lebih banyak untuk kota ini.

Semoga saja.

Thursday, September 23, 2004

Kegiatan Sosial : Makhluk Apakah?

Hampir tiga tahun ini aku dikenalkan dengan kegiatan social. Bagaimana saya terjun di kegiatan sosial, aku juga sudah tidak ingat lagi. Waktu itu kalau tidak salah, bulan Ramadhan 1420 H ketika seorang teman mengajak saya berbagi dengan sesama dengan cara membagikan nasi bungkus menjelang Maghrib di sepanjang jalan-jalan di Jakarta. Kami hanya berempat namun pengalaman hari itu sungguh merupakan pengalaman yang tidak terlupakan bagi saya.

Selepas hari itu, banyak ide dan gagasan mampir dikepala saya. Mengapa saya tidak membuat sendiri kegiatan sosial semacam itu? Ternyata beberapa kawan baik sayapun memiliki ide yang sama. Kami lantas berembug dan memilih kegiatan yang paling kami minati.

Ternyata buku dan anak-anak adalah yang ada di prioritas pertama kami. Mengapa anak-anak? Karena sebelumnya saya dan beberapa teman-teman adalah relawan sebuah kegiatan di Taman Margawatwa Ragunan. Berhubungan dengan anak-anak di kegiatan kerelawanan kami itu sangatlah menyenangkan dan berkesan. Mengapa buku? Karena buku-buku dirumah kami banyak sekali dan buku tersebut sudah jarang kami baca. Alangkah nikmatnya jika anak-anak di kawasan kumuh atau yang kurang mendapatkan akses buku dapat menikmati buku yang berkualitas, pikirku waktu itu.

Berkegiatan sosial itu ternyata menyenangkan. selain mengasah kepekaan kita terhadap orang lain, juga mengasah batin dan memperkaya diri dengan pengalaman spiritual. Mungkin ini jawabannya mengapa hingga sekarang aku masih terus melakukannya.



Kegiatan sosial yang aku lakukan bersama teman-teman adalah hal kecil yang aku yakin juga pasti bisa dilakukan oleh orang-orang lainnya, termasuk anda.

Ya. Kenapa tidak mulai dari sekeliling kita. Tengok kiri kanan depan belakang rumah kita, apakah mereka ada yang berkekurangan dan apakah kita punya sesuatu untuk diberikan. Bentuknya mungkin bukan materi, mungkin hanya kasih sayang, atau bahkan teguran selamat pagi. Terkadang ucapan itu cukup. Atau mungkin sapalah orang-orang yang ada di Halte. Berikan senyuman terindah yang anda miliki. Aku percaya dengan perbuatan kecil itu, bisa membuat orang menjadi ramah, dan bayangkan efeknya untuk kota ini. Hmmm.... kapan ya pandangan curiga orang-orang di Halte bisa menjadi pandangan penuh kasih sayang kepada sesamanya??? Well, kenapa enggak dicoba???

(RN)

Saturday, August 14, 2004

Berbagi bersama korban kebakaran

“Mul, kamu dimana, Mul?”

“Mul, Rumah kita kebakar,Mul”

Tulisan itu membuat bulu kudukku berdiri. Siapa Mul? Siapa Dia yang namanya ditulis dengan arang di dinding itu? Agak sulit aku bernafas dengan bebas ditempat itu, udara disekelilingku begitu pengapnya, bau kayu dan arang masih begitu kental disana-sini, kulitku dan bajukupun ikut-ikutan bau seperti ada sesuatu yang terbakar. Dinding-dinding rumah hanya tinggal setengah, disekelilingnya banyak sekali reruntuhan, sisa-sisa puing dan kayu-kayu terkabar menjadi arang. Aku sempat takjub melihat betapa banyaknya arang yang ada disana. ”Arang....., pasti dari pembakaran kayu”, pikirku, yang berarti sebagian dari rumah ini terbuat dari kayu. Mungkin dulunya bangunan lantai dua disana terbuat dari papan dan kayu. Who knows?

Kompleks bangunan yang terbakar itu letaknya di RW03 Kelurahan Karang Anyar, Gunung Sahari. Rumah-rumah disana berbentuk petakan yang hanya berukuran 3X4 meter dengan sebuah kamar mandi dan dapur kecil di sudut. Rumah-rumah lainnya rasanya sama asja ukurannya. Tepat tiga hari yang lalu (12/8), 48 rumah di lokasi ini terbakar dengan hebatnya. Dikatakan hebat karena ”hanya” satu kotak besar yang terbakar. Lokasi ini terkepung diantara tingginya dinding-dinding yang memisahkan rumah-rumah ini dengan rumah lain disekitarnya. Dari jalan masuk, siapa yang mengira ada kebakaran dibaliknya?

Baru tiga hari kebakaran menyapa tempat ini, 48 keluarga harus tinggal di rumah tetangganya, tetapi mereka tidak bersedih terlalu lama. Mereka bergiat diri membersihkan puing-puing disekitar rumah mereka, membersihkan sisa-sisa arang dan reruntuhan.

Yang menarik dari kejadian ini adalah kesigapan dan bantuan yang diberikan oleh para tetangga. Mereka bersedia menampung tetangganya, memasakkan makanan untuk mereka, dan mengkoordinir penggalangan bantuan. Satu meja kecil disediakan untuk menampung bantuan ala kadarnya dari mereka yang ingin berbagi dengan sesamanya. Tidak banyak yang disumbangkan KKS Melati pada hari itu, tetapi semangat berbagi yang mereka miliki tampaknya menulari kami yang berkunjung kesana.

Semangat berbagi dan membantu, mungkin tidak banyak ada di Jakarta ini, meskipun aku masih teringat slogan ”Gotong Royong” yang pernah ada sewaktu aku kecil dulu. Entah kemana perginya gotong royong itu, tapi tampaknya masyarakat di Gunung Sahari tidak berpikir begitu.

Semoga tulisan ini bisa mengajak anda berempati, berbagi, dan mensyukuri hidup yang anda miliki hari ini.

Mari berbagi, mari peduli.

(ditulis Rini,14 Agustus 2004, kks_melati@yahoo.com)

Saturday, May 15, 2004

Futsal di PS?

Jam 09.00 tepat aku sudah nongkrong di PS, dibawah sebuah pohon rindang, cukup terhalang dari sinar mentari pagi yang hangat. Inilah tongkrongan paling pagi yang pernah aku lakukan di mall. Hari itu banyak sekali SPG-SPG mulai berdatangan dan aku dapet kesempatan cucimata yang lumayan. Ternyata pakaian mereka cukup trendy-trendy sebelum datang bekerja dan mungkin mereka akan ganti baju di dalam mall dengan seragam yang ditentukan oleh stand dimana mereka bekerja. Tapi siapa yang tahu.

Tepat diseberang starbucks coffee, tidak jauh dari gedung central senayan, kegiatan yang berbeda sudah mulai tampak. lagu-lagu hip-hop yang berdentaman menghiasi pagi hari itu dan menambah semangat siapapun yang melenggangkan kaki disekitarnya. Sebuah tenda besar didirikan dan sebuah lapangan bola kecil disiapkan. Beberapa spanduk besar dipasang, bunyinya : "Asian Soccer Academy. Euro 2004 - Charity Soccer Tournament" HEBAT ! Sebuah lapangan bola didirikan di plaza Senayan ! Sebuah turnament pula ! Siapa yang mengira ?

Beberapa hari sebelumnya, sewaktu aku mengajak beberapa teman untuk sekedar mampir menonton acara ini, komentarnya cuma satu : Futsal di PS? sambil membelalakkan matanya tanda tak percaya. Iyalah... Futsal di PS.

Sebuah kegiatan charity yang diadakan oleh Asian Soccer Academy bekerjasama dengan CWS Indonesia, MTV, Starbucks Coffee (Gratis minum kopi+coklat starbucks yang terkenal enak itu. Refill gratis dari menit ke menit!!), Adidas, Cocacola, MIBT Indonesia, Life Spa, ISCI Jakarta, Plasa Senayan, dan mytimeoff.com

Ada 10 tim yang bertanding pada hari sabtu, 15 Mei 2004 itu yang semuanya diikuti oleh anak-anak keluarga under-priviledge. 3 tim (33 orang) diantaranya didaftarkan atas nama tim dari KKS Melati, yaitu (1) 14 anak dari Rumah Belajar Anak Jalanan - Yayasan SEKAR, kampung Bawang, Tanjung Priok, Jakarta Utara, (2) 12 anak dari Rumah Singgah - Yayasan Dilts Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dan (3) 7 orang dari Panti Amal Mulia, Jakarta Selatan. Selebihnya ada anak-anak dari Sanggar Ciliwung, Sanggar Akar, anak-anak dari Kebayoran baru dan anak-anak binaannya Atmajaya.

Rupanya cukup lama juga aku nongkrong di bawah pohon itu, sampai-sampai terlewat kedatangan rombongan dari Amal Mulia dan dari Dilts. Mereka rupanya langsung mendaftarkan kelompoknya di meja registrasi, lalu sibuk menendang-nendang bola untuk pemanasan. agak sulit juga mencari mereka diantara puluhan anak-anak lainnya. satu per satu kelompok aku datangi dan akhirnya aku berhasil bertemu dengan mereka yang sudah bersimbah keringat sebesar jagung. Anak-anak dari RBAJ-Sekar kampung bawang belum juga datang, sedang waktu untuk briefing sudah semakin dekat.

Briefing dan pembagian nama tim dilakukan oleh Mbak Heny dari CWS Indonesia yang juga menjadi contact person-ku pada kegiatan ini. Briefing mengenai aturan permainan dilakukan sendiri oleh Lee Hawkins, ASA head coach, yang ternyata adalah mantan pemain Southampton Football Club di England sana. Ia didamping oleh Erwin Prasetio yang mantan pemain Pelita jaya sebagai penerjemah sekaligus wasit selama pertandingan berlangsung.

Untungnya, hari itu aku didamping Nandha, salah seorang relawan KKS Melati, sehingga briefingnya menjadi lebih dalam dan fokus sehingga aku percaya penjelasan Lee berguna untuk semua tim yang ada disana. Terus terang, tidak banyak istilah persepakbolaan yang aku kuasai, karena baik sepak bola ataupun futsal tidak pernah ada dalam kepalaku. Tapi kali ini demi anak-anak itu, dengan serius aku dengarkan penjelasan dari Lee, karena aku mesti menyampaikan penjelasan tersebut kepada anak-anak RBAJ-Sekar kampung bawang .



Pertandingan dimulai tepat jam 11.00 siang, kira-kira beberapa menit setelah rombongan dari Yayasan Sekar datang. Ternyata banyak diantara mereka yang mabuk selama perjalanan, karena tidak terbiasa naik kendaraan umum. Setelah istirahat sebentar, mereka lantas segera berganti kostum dengan seragam (kaos+topi+kaos kaki) yang diberikan ASA untuk setiap peserta futsal ini, kemudian berlari ke lapangan bola berkumpul bersama teman-temannya yang sudah menunggu sejak dari tadi. Penjelasan mengenai pertandingan dilakukan dengan cara yang FUN oleh pembawa acara hari itu, sehingga setiap anak mengerti tentang aturan permainan dan sistem penilaian yang diterapkan. Setiap tim diberi nama club berdasarkan nama negara, persis seperti pertandingan sepakbola pada umumnya. Dilts menjadi tim sepakbola swedia, tim Amal Mulia menjadi Yunani, sementara Sekar kebagian menjadi tim spanyol. Sebelum pertandingan dimulai, Lee yang juga mantan pemain dari Southampton FC England, mempertunjukkan kebolehannya mendribble bola. WOW, kakinya itu luwes sekali !

Hari itu, sekitar 100 lebih anak-anak berkumpul untuk berkompetisi. Bukan pertandingannya yang membuatnya menjadi seru, melainkan karena kesempatan yang telah diberikan kepada mereka. Hari itu adalah kesempatan mereka bermain Futsal, ditonton orang banyak di sebuah Plaza, bertemu dengan teman-teman dari rumah singgah lainnya, dishoot oleh MTV. Sungguh merupakan kesempatan yang mungkin hanya sekali dalam hidup mereka. Semoga hari sabtu itu mereka mendapatkan pengalaman yang sungguh sangat berharga untuk kehidupan mereka kelak (RN, 15 Mei 2004)

Saturday, April 24, 2004

Berada bersama keluarga kawasan ilegal

Lapangan voli pagi itu berubah menjadi ceria dengan kehadiran puluhan anak-anak dan 100 ibu-ibu dari kawasan ilegal seputar situ rawa besar, depok terlihat banyak berkumpul di tepi rawa. Kesanalah kami berkunjung pada hari Sabtu 24 April 2004 lalu untuk berbagi bersama mereka. Anak-anak itu berasal dari sebuah kawasan ilegal yang dihuni oleh lebih kurang 295 KK dengan 125 balita dan anak-anak sejak 1976. Sejak tahun 2002 Lembaga Sosial Kesejahteraan-LSK Sejahtera melalui Program Pemberdayaan Masyarakat Squatter berada di kawasan ini untuk membina masyarakat yang tinggal di daerah ini. LSK Sejahtera yang mendapat dukungan dana dari program Grant Japan Development Fund/JDF dibawah dirjen Kimpraswil khusus untuk sarana-prasarana fisik lingkungan dan kesehatan. Sang ayah sebagian besar adalah pendatang dari Jateng, Jatim, dan Kerawang yang telah menetap di lokasi ini sejak 1976 bekerja sebagai driver becak, pemulung, pedagang kakilima, pedagang asongan dan pedagang gerobak. Karena status mereka adalah ilegal, maka keluarga mereka tetap tidak diakui keberadaannya oleh RT/RT/Lurah setempat, sehingga dalam banyak hal mereka tidak bisa mendapatkan akses, misalnya KK, KTP, Akte kelahiran, surat miskin atau bahkan akses ke Puskesmas. Kebanyakan dari anak-anak di daerah ini tidak mendapatkan imunisasi (karena tidak diakui oleh puskesmas setempat). Namun LSK Sejahtera telah berhasil mengadakan pendekatan ke Puskesmas, dan berhasil mengajak Puskesmas dalam 3 bulan ini secara reguler, untuk mengadakan sesi imunisasi untuk warga. Sesi ini disponsori pula oleh Posyandu Kecamatan & Dirjen. Kimpraswil.

Program Demo Memasak dan Penyuluhan Kesehatan

Kali ini KKS Melati mendapat sumbangan bahan makanan kering dari Junita, salah satu relawan KKS Melati. Bahan makanan tersebut ternyata sumbangan dari IRD/USAID, isinya beras, kentang kering, wortel kering dan daging kering berbumbu. Demo memasak kali ini diikuti oleh 100 ibu-ibu muda yang dengan antusias sudah datang sejak pagi hari. Acara dibuka oleh Dimas sambil berseloroh bahwa mereka akan melakukan demo memasak bahan makana yang berasal dari Amerika, "Mudah-mudahan setelah demo ini ibu-ibu bisa berbicara dengan bahasa Amerika", katanya sambil tersenyum. Kontan banyak ibu-ibu mendengarkan dengan seksama penjelasan yang diberikan Betsy, Prima dan Swan. Acara memasak nasi goreng dengan bahan makanan yang belum pernah dimasak sebelumnya, menjadi tontonan yang menarik. Apalagi setelahnya dilakukan tanya jawab mengenai kesehatan, dibantu dr. Tato seorang relawan KKS Melati. Pertanyaan demi pertanyaan bertambah seru saja.

Seusai demo masak, Penyuluhan Kesehatan mengenai Sanitasi diberikan oleh Heda dan Mia, relawan KKS Melati yang juga kuliah di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. Banyak sekali pertanyaan yang diberikan oleh ibu-ibu membuat hari penyelenggaraan kegiatan ini menjadi bertambah panjang. Setiap pertanyaan yang diajukan oleh Heda dan Mia disambut dengan acungan jari dar ibu-ibu, demikian pula sebaliknya, banyak juag ibu-ibu yang sibuk bertanya ini dan itu. Mungkin pula karena kami menyediakan paket sabun dari PT Unilever Indonesia sebagai hadiah, sehingga mereka tampak antusias.

Diakhir acara, kami membagikan 1 kaleng susu Nutren 400 gram sumbangan dari PT Nestle Indonesia dan satu plastik bahan makanan yang sama dengan bahan yang digunakan dalam demo.

Kegiatan anak-anak

Lagi-lagi acara dipandu Virgina, salah seorang relawan KKS Melati, "Jadi... gue lagi nih!" katanya, tapi kecintaannya kepada anak-anak mengalahkan rasa bosannya dengan cepat. Hari itu sekitar 50 anak-anak berkumpul di lapangan Volley, membuka-buka box buku cerita tak sabar ingin melihat isinya. Virgina membuka acara hari itu dengan bernyanyi lagu Balonku bersama-sama, dan kemudian ia mulai bercerita dari sebuah buku tentang seekor semut yang tidak serakah lagi. Seusai dongeng, banyak sekali pertanyaan yang diajukan dan anak-anak sibuk mengacungkan jarinya berebutan untuk menjawab. Bergantian mereka maju ke depan dan menjawab pertanyaan. Ada yang malu-malu, ada yang lantang, semua berbaur menjadi satu. Lalu ada pula anak-anak yang ingin bernyanyi. Maka segeralah lagu Pelangi, Balonku (lagi), Ibu Kita Kartini, dan lain-lain, menghiasi lapangan voli itu. Tidak berhenti sampai situ saja, mereka lalu berebutan maju ke depan untuk membacakan buku cerita untuk teman-temannya. Mereka menyimak cerita yang disampaikan temannya, meskipun terkadang sangat susah payah karena intonasi bacaannya sulit terdengar. Bagi mereka yang berani tampil ke depan, kami menyediakan beragam hadiah yang terdiri dari satu set peralatan tulis, celengan, sabun dan pasta gigi.

Jet dan Troy pun tak ketinggalan berbaur. Jet yang baru kali ini bergabung dalam acara KKS Melati terlihat sedikit gila dengan acara yang ditampilannya. Bersama Troy mereka memberikan penyuluhan tentang gigi, perkenalan tentang gigi dan cara menggosok gigi. Mereka mengajak anak-anak bernyanyi bersama lagu sikat gigi yang ternyata merekapun bisa menyanyikannya.

Usai penyuluhan gigi, relawan lainnya sibuk berbaur dan mereka lantas membentuk kelompok-kelompok kecil membacakan cerita kepada anak-anak yang belum bisa membaca. Sedang bagi yang sudah bisa, mereka langsung berebutan mencari buku bacaan yang cocok untuk mereka baca sendiri. Jadilah lapangan volley hari itu menjadi taman bacaan yang menyenangkan. Ada yang membacakan buku cerita untuk temannya, ada pula yang sibuk membaca dengan cepat dan menukarkan bukunya lagi, seakan tak ingin ketinggalan membaca buku sebanyak-banyaknya. Melihat pemandangan seperti ini, timbul pikiranku : Mengapa selalu banyak dibicarakan orang bahwa tingkat membaca orang indonesia sangat rendah? Lihatlah mereka, Lihat betapa antusiasnya mereka melahap buku-buku cerita yang disediakan!

Seusai acara anak-anak, diadakan pertandingan lompat karet antara anak-anak dan relawan KKS Melati. Gelak tawa segera menghiasi tempat itu, karena permainan mereka hari itu lebih seru dari biasanya. Bayangkan kalau Troy, Jet, Prio dan Swan yang laki-laki ikut bermain lompat karet! Pasti heboh dan banyak mengundang tawa...

Tidak banyak yang kami bisa berikan hari itu, tapi kami yakin mereka bahagia dengan kehadiran kami. Mudah-mudahan kunjungan kali itu bukan kunjungan terakhir karena masih banyak hal yang bisa dilakukan di tempat itu, bergandengan tangan dengan KKS Melati.

(RN, 24 april 2004)

===================================
"Let's Expand Our Imagination About What's Possible"

Wednesday, August 20, 2003

Sekolah Anak Jalanan Belajar di Kebun Raya Bogor

Juki hari ini senang sekali. Ia adalah satu diantara 118 teman-temannya yang bersekolah di Sekolah Anak Jalanan di bawah jembatan tol Gedong Panjang, Kampung Kakap. Sekolah Anak Jalanan atau disingkat SAJA yang didirikan di kolong jembatan tol Gedong Panjang, yang terletak di Kampung Kakap, Jakarta Utara ini diperuntukkan bagi anak-anak yang tinggal di kolong jembatan tol Gedong panjang dan sekitarnya. Kepada mereka, sekolah tidak memungut biaya.

Jumlah anak-anak disana sekitar 450 anak, yang masuk usia sekolah tahun ajaran 2003/2004 ini berjumlah sekitar 118 anak. Mereka inilah yang bersekolah di SAJA, yang saat ini terbagi menjadi 3 kelas, yaitu TK A, TK B dan SD.

Sekolah ini berada dalam sebuah kawasan pemukiman padat yang dihuni oleh sekitar 200 kepala keluarga yang pekerjaan sehari-harinya tidak tentu (marjinal). Keluarga ini tinggal di rumah-rumah berdinding papan dan beratap beton jalan tol. Kehidupan disekitar rumah mereka tidak ditata dengan baik dan tidak sehat. Ada 150 pintu dibawah kolong jembatan ini, dan disetiap pintunya bisa dihuni lebih dari 1 keluarga. Bisa dibayangkan, luas tempat hunian di sebuah pintu di bawah kolong jembatan, sangat sempit. Orang-orang yang tinggal di kolong jembatan ini terdiri dari berbagai macam kalangan dari mulai buruh, tukang koran, tukang becak, PSK, bahkan mungkin preman dan penjahat ibukota tinggal disini.




Juki tahu bahwa tanggal 27 Juli 2003 ini akan belajar diluar kelas. Kali ini ia dan teman-temannya akan belajar di Kebun Raya Bogor (KRB) bersama kakak-kakak relawan dari KKS Melati, sebuah Kelompok Kerja Sosial yang terdiri dari relawan muda.

Pagi-pagi benar mereka sudah tiba di Rumah Anggrek KRB. Rumah Anggrek ini memiliki Koleksi kurang lebih 10.000 spesimen dari 900 species dari 100 genera. Di halaman depan rumah anggrek mereka belajar tentang jenis anggrek epifit yang tumbuh di pot dan di cabang kayu. Misalnya Cattleya dan Dendrobium. Ada juga anggrek tanah (terrestrial) warna-warni yang ditanam di tanah atau tempat terbuka. Ada Arachnis dan ada pula Aranda.

Di halaman Rumah Anggrek anak-anak dikenalkan dengan seorang “Raja Pohon” yang diperankan oleh seorang relawan kami, Dimas namanya. Setiap kali “Raja Pohon” berkata sesuatu, maka setiap anak harus mengikuti perintahnya. Maka yang tampak hari itu adalah adegan penuh kelucuan. Jika “Raja Pohon” mengatakan “Angkat tangan kanan!” maka serentak seluruh anak-anak mengangkat tangan kanannya.




Dari Rumah Anggrek, dengan berkelompok dan diiringi lagu Naik-Naik ke Puncak Gunung, mereka lalu menuju ke deretan pohon pinus. Disana mereka belajar tentang batang dan struktur pohon pinus dengan sangat sederhana, belajar tentang kegunaan pohon pinus, dan mendengarkan dongeng tentang pohon pinus dari para relawan yang mengawal mereka sepanjang perjalanan. Dongengnya menceritakan tentang kisah sebuah biji pinus yang takut belajar terbang dan akhirnya dengan penuh keberanian iapun berani terbang. Dengan keberaniannya itu, biji pohon pinus ini akhirnya mendarat di tempat baru dan menjadi pohon baru. Inti dari cerita ini adalah tentang keberanian. Maka setelah dongeng itu berakhir, bertebaranlah seluruh anak-anak mencari biji pohon pinus dan mereka begitu bangganya dengan biji pinus yang sudah berani terbang.




Setelah itu, mereka menuju Jalan Astrid. Jalan Astrid adalah salah satu jalan di Kebun Raya Bogor. Dinamai demikian untuk mengingat kunjungan Putri Astrid dan suaminya Pangeran Leopold dari Belgia sewaktu mereka berbulan madu tahun 1928 ke lokasi ini. Mereka senang sekali ketika tahu bahwa seorang putrid Raja pernah daaing ke jalan ini. Diarea ini penuh dengan pohon kana. Siapa sangka jika bunga Kana ternyata berasal dari Amerika? Warna bunga Kana yang ditanam di sepanjang Jalan Astrid adalah hitam, merah, kuning, sebagai symbol warna bendera Belgia. Anto dan kelompoknya dibantu dengan para relawan belajar tentang proses penyerbukan dengan sangat sederhana. Mereka belajar tentang warna-warna yang dimiliki bunga kana dan bernyanyi lagu Kebunku.

Perjalanan kemudian dilanjutkan ke sederetan pohon damar. Pohon Damar yang tingginya bisa sampai 1-2 m, berasal dari Sumatra, Kalimantan dan Malaysia. “Pohon minumnya dari akar, ya Kak?” tanya Asep yang masih kecil itu. Di tempat ini mereka belajar tentang perbedaan pohon pinus dan pohon damar. Para relawan membiarkan anak-anak meraba batang pohon dan menyadari bahwa daun pohon damar lebih tebal dibandingkan pohon pinus. Para relawan juga menjelaskan bahwa Daun adalah pabrik makanan. Daun dengan zat hijau daunnya apabila terkena panas matahari dan ditambah air, akan diubah jadi makanan. Sinar matahari sebagai kompornya, sedangkan daunnya ibarat panic untuk memasak makanan, dan airnya diambil dari tanah. Asep pun belajar bahwa batang kayu pohon ini bisa digunakan untuk meja dan kursi, dan mengandung resin (getah pohon), yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan obat, cat, percetakan, dan minyak wangi. “Wah meja di kelas itu asalnya dari pohon ini , ya Kak?’” ata Dina dengan takjubnya. Ia adalah satu dari anak-anak yang senang dengan cara belajar diluar kelas seperti ini, “Beda sekali rasanya dengan belajar di kelas kami yang panas itu”.




Tidak jauh dari deretan pohon damar, mereka belajar tentang komunitas kolam. Kolam yang mereka temui adalah kolam teratai raksasa yang asalnya dari hutan Amazon, Brazil. Teratai yang dikenal dengan Victoria amazonica ini pertama kali dikenalkan oleh Haenkel tahun 1801 yang menemukannya di Bolivia. Anak-anak itu langsung bermain dan memegang daun teratai raksasa, setelah kakak relawan mereka mengatakan bahwa daun ini sanggup menahan berat anak kecil yang duduk diatasnya. Meskipun mereka tidak bisa mencoba duduk diatas daun itu, tapi mereka senang dengan penjelasan yang diberikan.

Dari kolam, mereka langsung menuju lokasi yang sudah disiapkan oleh para relawan KKS Melati. Setelah makan siang, mereka langsung mendengarkan acara sulap dari Sang “Raja Pohon” dan beberapa dongeng. Acara sulap menjadi menarik sekali ketika sang “Raja Pohon” mengajak anak-anak bermain sulap. Dian yang masih kecil senang sekali karena berhasil bermain sulap. Dongeng hari itu disampaikan oleh relawan cilik kami, Audrey yang masih kelas 2 SMP dan Ghia yang masih kelas 2 SD. Mungkin karena yang mendongeng masih kecil, anak-anak itu jadi semakin tertarik. Mereka mendekati Audrey dan Ghia serta mendengarkan cerita yang disampaikan. Sang Raja Pohon pun tak kalah dengan relawan cilik tadi. Ia mendongeng tentang bunga dan lebah, cocok sekali dengan suasana di KRB. Berbagai permainan diadakan dan hadiah-hadiah betebaran. Hari itu, paket sekolah dari RCTI peduli, Tabloid Fantasy, Majalah Cool n Smart, dan hadiah-hadiah sumbangan relawan kami dibagikan untuk mereka. Diakhir acara, anak-anak SAJA mempertunjukkan kebolehan mereka. Mereka bernyanyi, menari dan bersenam.







Sudah dua kali KKS Melati, berinteraksi dengan anak-anak SAJA dengan program taman bacaan keliling yang mereka miliki. Luar biasa antusias anak-anak di kolong jembatan tol ini akan buku cerita. Mereka begitu haus akan buku pengetahuan dan bacaan serta begitu senang dengan dongeng yang disampaikan oleh relawan KKS Melati.



Semoga melalui kegiatan ini, kami dapat menularkan "Virus" empati kepada rekan-rekan yang lain, untuk membuat Jakarta menjadi lebih baik dan bersama-sama bergandengan membantu mereka yang membutuhkan!

RN,20/8/03

Sebuah sekolah anak buruh di Rawa Terate



Sebuah sekolah anak buruh di Rawa Terate

Sabtu lalu 7 Juni 2003 kami sudah berada lagi di Rawa Terate. Di sebuah kampung yang terletak persis di belakang pabrik Krama Yudha Spare Parts di daerah Cakung. Kampung Rawa Terate ini dibentuk dan didirikan oleh para buruh dari lingkungan pabrik tersebut. Pada mulanya kawasan ini masih dikelilingi oleh sawah hijau membentang, namun sabtu lalu, kami banyak menemukan sawah terlantar yang tidak lagi ditanami karena sulitnya mendapatkan air bersih untuk irigasi.

Aliran air di kawasan tersebut telah berubah menjadi hitam legam, bercampur polusi. Masyarakat yang tinggal di kampung tersebut yang terdiri dari para buruh pabrik, termasuk istri dan anak-anak mereka, hidup dengan hirupan udara bercampur logam berat yang muncul dari ventilasi dan cerobong asap pabrik. Sayang, pasokan air bersih yang tempo hari sudah diusahakan Bobby, relawan kami, tampaknya sudah berhenti dipasok. Mungkin Bobby harus kembali lagi mengupayakan pasokan air bersih di tempat ini. Asap putih tebal keluar dari pabrik. Asap yang penuh dengan cemaran logam berat yg menyesakkan dada dan mengotori mata. Setahun lalu sewaktu kami berkunjung ke sana, asap itu tidak seberapa tebal.

Satu-satunya sekolah yang ada di kampung ini adalah sekolah SD yang terdiri dari 2 ruang kelas dengan kondisi seadanya. Disana hanya ada seorang ibu kepala sekolah yang juga merangkap sebagai satu-satunya Ibu guru bagi sekolah itu. Tidak jelas apakah ia melakukannya dengan sukarela ataukah Depdiknas membayarnya selayaknya seorang kepala sekolah bekerja di sebuah sekolah. Tidak jelas bagaimana anak-anak didiknya dapat naik kelas dan apakah bisa mereka diterima di sekolah yang lebih tinggi setingkat SMP nantinya. Bahkan tidak jelas apakah Depdiknas mengetahui keberadaan sekolah di kawasan itu.

Sejak banjir tahun lalu yang merusakkan bangunan sekolah dan merusakkan seluruh buku-buku sekolah yang mereka miliki, masyarakat di kampung ini saling bahu-membahu dan bergotong royong mendirikan kembali sekolah itu seadanya untuk masa depan anak-anak mereka. Saat ini mereka belum lagi memiliki buku baru untuk belajar dan masih memprihatinkan sekali nasib mereka untuk bisa bersekolah di tempat seperti ini. Banyak pertanyaan lagi yang timbul di benak kami ketika pertama kami berkunjung ke sana, namun kondisi sekolah itu telah membuka hati kami untuk memikirkan apa yang dapat kami lakukan untuk sekolah itu dan untuk anak-anak disana. Dengan komitmen bersama kami percaya bahwa kita dapat ikut membantu pengajaran di sekolah tersebut dan partisipasi anda semua sangat dibutuhkan untuk mewujudkan komitmen tersebut.

Pagi benar kami sudah tiba disana. Bahkan Bobby sudah tiba sejak jam 6.30 pagi. Memang hari itu Bobby yang mendapat giliran menjadi Project Officer kami dan melakukan koordinasi dengan sekolah SD Bintang Pancasila di sana yang hari itu akan mendapat kunjungan dari PT. Asuransi Multi Artha Guna (MAG) yang akan menyumbangkan peralatan sekolah. Setibanya kami langsung disambut dengan gembira oleh Ibu kepala sekolah, yang ternyata tidak melupakan kami. Padahal kunjungan Melati ke tempat itu sudah setahun yang lalu.

Hari itu, kami sumbangkan sebagian buku koleksi Melati untuk digunakan oleh sekolah itu. Setelah itu, segera saja kami gelar terpal baru, hasil jualan majalah tempo hari, persis di depan sekolah. Bobby langsung mengajak Tanya, Yasmin dan Rini masuk ke sekolah dan memperkenalkan mereka kepada adik-adik yang sedang ada di sana. Yasmin mengajari anak kelas satu menulis. Heboh dan ramai sekali. Semua anak mendadak ingin maju ke depan untuk menulis. Setiap anak ingin memamerkan tulisannya kepada Yasmin. Ibu guru yang satu ini senang sekali. Senyum tidak lepas dari wajahnya. Semakin banyak acungan telunjuk anak-anak itu, Yasmin semakin giat mengajar. Demikian pula di kelas sebelah. Tanya sibuk mengajari matematika. Ibu guruku hari ini cantik sekali, kata seorang anak di kelas Tanya sambil sibuk memperhatikan Tanya. Segera pelajaran matematika serasa mudah dicerna.

Usai mengerjakan matematika dan menulis, anak-anak itu langsung berhamburan keluar kelas dan mulai sibuk memilih buku. Bukan main ributnya mereka memilih buku yang mereka inginkan. Sang kepala sekolah mengatakan bahwa anak didiknya suka dengan buku dongeng dan cerita rakyat, karena mereka bisa belajar dari tokoh yang ada dalam ceritanya. Kadang, untuk pelajaran Bahasa Indonesia, sang guru mengajak anak-anak itu untuk menceritakan kembali buku yang sudah dibacanya dan mengajaknya bejalar kebaikan dan keburukan sang tokoh. Sungguh sangat mendidik. Pantas saja, hari Sabtu itu mereka menyerbu buku cerita rakyat dan dongeng. ada yang membacanya kencang-kencang, ada yang membacanya perlahan. Ada yang mencari banyak gambar, ada pula yang menyenangi komik. (Mereka mencari komik kapten Tsubasa, sayang kami tidak punya, akhirnya Doraemon pun dilahap juga).

Lucunya ada juga yang memaksa membaca buku cerita bergambar berbahasa Inggris, meskipun mereka tidak mengerti. Ia dan temannya sibuk mengartikan kata-kata yang ada dibuku tersebut sambil garuk-garuk kepala. Tapi tetap dibacanya juga dengan kencang, meskipun bingung dan aneh. Akhirnya Rini mendongengkan cerita dalam buku itu kepada mereka. Ceritanya tentang seorang anak yang ketika bangun pagi, badannya berubah menjadi kecil, tetapi ia tidak sedih hati dan terus bekerja dengan riang gembira. Mereka mengulang cerita itu kepada kawannya yang lain. Sementara di sudut sana, Yasmin sibuk mendongeng. Anak-anak yang ada di sekitarnya langsung berhenti membaca dan mendengarkan ceritanya. Ia terlihat asyik sekali dan sesekali tawa anak-anak itu terdengar, menikmati dongengannya. Disudut sana, Tanya sibuk membacakan buku untuk seorang anak kecil yang tidak mau membaca buku sendiri. Sementara Bobby sibuk menghubungi Pak RT dan menunggu teman-teman dari MAG yang datang agak terlambat.

Teman-teman MAG datang dengan sumbangan yang banyaaaak sekali. Kami sampai takjub melihatnya. Ada peta Indonesia, papan tulis dan kapurnya, cat dan peralatannya, dan lampu-lampu yang akan disumbangkan untuk sekolah dan aneka peralatan sekolah untuk dibagikan ke 78 anak di sekolah itu. Tidak lupa ada kue-kue dan bubur kacang hijau yang langsung dinikmati dan habis diminum oleh anak-anak itu. Mereka senaaaaang sekali dan kenyang!
Terima kasih untuk MAG yang telah membantu sekolah ini. Jangan lupa, sekolah ini hanya satu dari sekian sekolah di Jakarta yang layak untuk dibantu. Program kami selanjutnya adalah berkunjung ke sebuah sekolah di kawasan Marunda, SD Pantai Makmur 03. Kami berharap MAG dapat pula mensupport kami juag untuk membantu sekolah di Marunda itu juga.

Sudah dua kali kunjungan KKS Melati, sebuah Kelompok Kerja Sosial yang terdiri dari relawan muda, ke Rawa Terate dengan taman bacaan keliling yang mereka miliki. Luar biasa antusias anak-anak di SD Bintang Pancasila ini akan buku cerita. Mereka begitu haus akan buku pengetahuan dan bacaan serta begitu senang dengan dongeng yang disampaikan oleh relawan KKS Melati.
Semoga melalui kegiatan ini, kami dapat menularkan "Virus" empati kepada rekan-rekan yang lain, untuk membuat Jakarta menjadi lebih baik dan bersama-sama bergandengan membantu mereka yag membutuhkan!

RN,20 Agustus 2003